HUBUNGI KAMI

Jumat, 28 September 2018

Tradisi Lompat Batu Suku Nias Takjubkan Wisatawan Manca Negara.


Nias – Kebudayaan daerah, salah satu daya tarik bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Tradisi Lompat Batu (bahasa Nias: Hombo Batu) dari suku Nias di kabupaten Nias Selatan merupakan tradisi daerah yang hanya ditemukan di pulau yang dijuluki Pulau Impian ini.
Tradisi Lompat Batu suku Nias ini membuat takjub para wisatawan domestik terlebih wisatawan mancanegara karena di seluruh dunia hanya di suku Nias inilah ditemukan tradisi yang sangat unik dan menarik. Tradisi lompat batu ini tidak ditemukan di setiap kampung di kepulauan Nias. Hanya kampung tertentu saja ada tradisi Lompat Batu ini terutama di kampung Orahili Fau dan kampung Bawomataluo yakni kampung budaya yang terletak dibagian selatan pulau Nias.
Hombo Batu dibuat dari batu-batu pilihan spesial jenis batu megalit yang telah dipahat lalu disusun sedemikian rupa setinggi 2 meter hingga menyerupai piramida tapi bedanya bagian atas Hombo Batu tersebut dibuat datar dengan lebar sekitar 60 centimeter. Di depan Hombo Batu yang menyerupai piramida itu diletakkan sebuah batu tingginya kira-kira 30 centimeter bentuknya lonjong dalam bahasa Nias disebut Tarahoso sebagai pijakan kaki sehingga sang pelompat dapat melesat ke atas melewati Hombo Batu itu.
Dapat dibayangkan tingginya resiko yang akan dialami sang Pelompat jika tidak hati-hati atau tidak menguasai tekhnik melompat karena bukan seperti melompati parit pinggir jalan. Apabila si Pelompat tidak menguasai tekhniknya akan menciderai otot bahkan patah tulang terutama saat kaki tersangkut pada batu paling atas Hombo Batu yang cukup lebar. Bahkan sekalipun telah melewati Hombo Batu itu namun pada saat mendaratkan kaki tidak tepat sesuai tekhniknya maka hal itu juga bisa berakibat fatal terhadap si Pelompat. Untuk itu sebelumnya si Pelompat harus latihan keras baik penguasaan tekhnik maupun kesiapan fisiknya. Kepada wartawan hal ini dijelaskan oleh Miliar Fau salah seorang kepala suku kampung Orahili Fau, sebuah kampung pemilik Hombo Batu tertinggi di Nias. “Seorang Pelompat wajib menguasai tekhnik melompat dan juga kesiapan fisiknya sebagaimana ketentuan yang telah diterapkan oleh nenek moyang kampung ini. Sebab jika tidak, resikonya begitu tinggi seperti cidera otot dan patah tulang”, jelasnya.

Tradisi lompat batu ini ternyata bukan tradisi olah raga nenek moyang suku Nias. Tradisi ini memiliki sejarah khusus sebagaimana dituturkan oleh Miliar Fau. Ia menyebutkan bahwa tradisi lompat batu ini berawal dari masa lampau para leluhurnya yang sering melakukan peperangan antar kampung. Fenomena itu membuat penduduk kampung wajib mempertahankan diri dari serangan atau menyerang kampung lainnya. Dengan demikian warga memagari kampungnya dengan tumpukan batu-batu agar musuh tidak mudah menyerang kampung. Selanjutnya Miliar fau mengatakan untuk memenangkan sebuah peperangan maka wajib pemuda desa melatih dirinya melompati Hombo Batu agar dengan mudah dapat melakukan penyerangan pada kampung yang akan ditaklukkan.

Demi meraih kemenangan maka hampir semua pemuda kampung melatih diri melalui Hombo Batu ini sekaligus menunjukkan bahwa si pemuda telah dewasa dan bertanggung jawab. “Pada zaman dulu seorang pemuda yang dapat melompati Hombo Batu merupakan pemuda yang telah dewasa dan bertanggung jawab dan telah dapat diandalkan dimedan pertempuran”, tutur tokoh yang sangat disegani di kampung Orahili Fau ini.
Seiring dengan perkembangan zaman maka lompat batu tersebut kini dijadikan sebuah tradisi di kampung Orahili Fau dan juga kampung Bawomataluo. Tak heran jika para wisatawan domestik maupun dari manca negara yang melakukan tour wisata sangat kagum dan takjub menyaksikan atraksi Lompat Batu suku Nias. Bukan hanya atraksi lompat batunya yang mengagumkan disana juga ditemukan Tari Perang dan berbagai tradisi lainnya yang menakjubkan.

Sumber MITRAPOL. 



Sabtu, 22 September 2018

DI ARTIKEL KALI INI SAYA AKAN MEMBAGIKAN BEBERAPA ADAT NIAS YANG MASIH BELUM DIKENAL LUAS.

Ya’ahowu talifusö…

Di artikel kali ini saya akan membagikan beberapa Adat Nias yang masih belum dikenal luas.

Pemuda yang ingin mencari jodoh harus memilih secara diam-diam gadis yang ditaksir, karena dalam adat Nias dilarang untuk berhadapan atau berbicara langsung dengan gadis pilihan hati. kasihan yaa… Hihi 😀

Isitilah mencari jodoh ini disebut “Famaigi Niha” (daerah Nias Barat, Laraga dan Nias Tengah). “Famakha Balö” (daerah Hilinawalö dan Nias Selatan). “Lobi-lobi” (daerah Hilisiametanö, Bawömataluo, Aramö dan Silawalawa). Istilah ini berbeda-beda sesuai daerah adat masing-masing.

Tahap mencari jodoh ini juga memakai cara: Manandra Fangifi (Tuhegewö, Amandraya, dan Aramö) artinya melihat jodoh baik atau tidak dari mimpi si laki-laki calon mempelai atau Famaigi Tödö Manu (Lölöwa’u) artinya melihat jodoh baik atau tidak dari pemeriksaan jantung ayam.

Jika laki-laki telah menemukan tambatan hatinya, maka melalui perantara dengan sebutan: Si’o, Balödrela, Samatua’li, Si’ila menanyakan status gadis kepada “Hiwa” (orang tua atau keluarga dekat) calon mempelai wanita apakah belum terikat dan bersedia menerima pinangan atau lamaran.

FAMATU’A (Acara Tunangan)

Jika hal diatas sudah dilakukan dan sudah mendapat jawaban dari pihak keluarga calon mempelai wanita. Maka, pihak laki-laki sudah bisa menyampaikan lamaran secara resmi kepada pihak perempuan. Tanda jadi dari pihak laki-laki akan menyerahkan “Afo si Sara”, yakni:

Tawuo atau sirihBetua atau Kapur sirihGambe atau GambirFino atau buah Pinang mudaBago/Bajo atau Tembakau

BOLANAFO

Semua bahan-bahan ini dibungkus dengan rapi. Sebanyak 100 lembar sirih disusun berdempetan. Inti acara ini ada melamar secara resmi tambatan hati yang berlangsung di rumah pihak perempuan. Tunangan tahap ini masih longgar yang istilahnya “Fohu-fohu Bulu Ladari” ( pernjanjian diikat dengan daun ladari) bisa batal tanpa resiko apapun.

Famatua akan digelar di rumah pihak perempuan. Acara ini akan tersusun dari “Famaigi Böwö” atau kesepakatan mahar dari pihak perempuan dan Fame Laeduru atau pertukaran cincin.

Acara Famaigi Böwö dipandu oleh Satua Famaigi Böwö meliputi:

Penyerahan Babi Jantan hidup-hidup ukurun 7 alisi (sesuai kesepakatan kedua belah pihak)Penyerahan Afo sisara (sirih)Kepada pihak perempuan disampaikan maksud dan tujuan kedatangan, kemudian disambut oleh ketua adat dan pihak perempuan, setelah selesai lalu dilanjutkan makan bersama.

Dalam proses ini biasanya satua (orang tua) kedua belah pihak akan ngobrol dengan banyak menggunakan Amaedola atau peribahasa/pepatah atau perumpaan.

FANGÖRÖ (Kunjungan ke Rumah Calon Mertua)

Fangörö adalah Kunjungan calon mempelai laki-laki ke rumah calon mertua. Satu hari setelah Faimaigi Böwö calon mempelai laki-laki datang ke rumah calon mempelai wanita membawa nasi dan lauk, seekor anak babi yang telah dimasak, serta membawa seperangkat sirih. Di rumah calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki disambut dengan seekor anak babi yang dipotong dan sudah dimasak. Sebagian dibungkus di bawa pulang untuk oleh-oleh kepada keluarga laki-laki.

FANEMA BOLA (Penentuan Jujuran)

Kunjungan pihak perempuan ke rumah pihak laki-laki tanpa disertai penganten perempuan, hanya disertai saudara laki-laki (wali) si perempuan. Kedatangan pihak perempuan disambut dengan menambatkan  2 ekor babi besar untuk dihidangkan dan dimakan bersama, babi dibelah sama rata.

Acara penghitungan jujuran ini disebut “Femanga Bawi Nisilia Hulu” artinya seekor babi dibelah dua dari kepala sampai ekor, separuh untuk perempuan dan separuh untuk pihak laki-laki, sebagai simbol kesempakatan, mempersatukan dua keluarga, ini artinya tunangan atau lamaratn pihak laki-laki tidak dapat dibatalkan lagi. Jika Batal, pihak perempuan harus mengembalikan jujuran berlipat ganda kepada pihak laki-laki dan sebaliknya, pihak laki-laki tidak menerima pengembalian jujuran jika dibatalkan sepihak oleh pihak laki-laki.

Acara ini istilahnya berbeda-beda disetiap daerah masing-masing.

Fanunu Manu Sebua, daerah LaragaFamorudu Nomo, daerah Moro’öFangerai Böwö, daerah AramöFanofu Böwö, daerah Bawömataluo

FAMEKOLA (Penyerahan Mahar)

Keluarga Pihak laki-laki datang ke pihak perempuan untuk menyerahkan mahar sesuai kesepakatan di awal dengan membawa sirih sebagai tanda kehormatan kepada pihak perempuan. Pihak perempuan menyambut dengan menyediakan 3 ekor babi, yakni:

Untuk rombongan pihak laki-laki yang datangUntuk ibu calon mempelai laki-lakiSatu ekor lagi dibawa pulang hidup-hidup

FANU’A BAWI (Persiapan Babi Adat)

Pihak perempuan datang melihat babi adat pernikahan, cocok atau tidak menurut persyaratan : babi  yang melambangkan kedua pihak keluarga, dipelihara secara khusus sejak kecil hingga besarnya sekitar 100 Kg atau lebih. Babi tidak boleh cacat, ekornya mesti panjang, dan warna bulunya harus sama, tidak boleh berwarna belang atau merah, warnanya harus satu hitam atau putih. Babinya berwibawa (terlihat dari taringnya, ekornya, bulu tengkuknya).

Materi acara dalam Fanu’a Bawi adalah:

Menentukan hari dan tanggal pernikahan (Falowa)Persiapan sehubungan perlengkapan pernikahanMenghitung/mengingatkan jumlah mahar yang masih belum dibayarkan. Besar böwö (Mahar) ditentukan oleh tinggi rendahnya kedudukan dalam adat

Penerimaan Bowo adalah sebagai berikut:
a. Tolamböwö (Orang tua kandung)
b. Bulimböwö (Famili terdekat)
c. Pelaksanaan penerimaan böwö ini dilakukan pada waktu pesta pernikahan

FAME’E (Nasehat Untuk Calon Mempelai)

Tiga hari sebelum pernikahan dilakukan upacara fame’e (tuntunan cara hidup untuk berumah tangga). Calon pengantin pria ditemani teman-temannya (Orang tua tidak ikut) datang ke rumah perempuan membawa seperangkat sirih. Para ibu-ibu pihak keluarga perempuan menasehati sang gadis, biasanya si gadis menangis (Fame’e = menangisi sigadis, karena akan pisah dengan keluarga). Mulai saat fame’e dibunyikanlah gong (Aramba) dan gendang (Göndra) terus menerus, sampai hari pesta dilaksanakan. Sang gadis pun dipingit, untuk menjaga kesehatan dan kecantikannya.

Dalam adat NIAS, peran Paman sangat dihormati (Paman = Sibaya/Saudara laki – laki ibu si gadis) sebelum pernikahan dilangsungkan, maka pihak perempuan melaksanakan Fogauni Uwu (Mohon doa restu Paman untuk pelaksanaan pernikahan mendatang).

FOLAU BAWI (Mengantar Babi Adat)

Sehari sebelum pernikahan, pihak laki-laki mengantar bebarapa babi pernikahan dan pengiringnya ke rumah keluarga perempuan. Babi Adat ini diberangkatkan dari rumah keluarga laki-laki dengan upacara tertentu, dan disambut oleh pihak perempuan juga dengan upacara tertentu dengan syair yang berbalas-balasan. Kedatangan rombongan pihak laki-laki disambut dengan memotong dua ekor babi yang dimakan bersama juga untuk dibawa pulang.
Acara ini disebut Fondröni Bawi, dengan rincian pembagian Babi Adat adalah sebagai berikut :
– Babi yang pertama: yang paling besar untuk keluarga perempuan (So’ono) dan pihak paman si gadis (Uwu)
– Babi yang kedua, diperuntukkan bagi warga kampung keluarga si gadis (Banua) dan pihak laki-laki (Tome)

Menguliti dan memotong-motong babi ternyata tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Babi yang paling besar jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang menyelenggarakan pesta, demikian seterusnya hingga babi yang paling kecil. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi), karena simbi tidak boleh rusak. Simbi adalah bagian paling berharga dari babi.Cara memotong-motong daging babi di Nias dipotong secara teratur dan mengikuti pola yang nampaknya sudah lazim di sana.

Pertama, melepas bagian simbi.Kedua, membelah babi dari mulai ujung hidung, sebelah telinga, hingga ekor yang disebut söri.Ketiga, membagi bagian perut dari söri dengan menyertakan sedikit telinga yang disebut sinese.Keempat, membagi rahang atas menjadi dua, yang disebut bole-bole.Kelima, memotong kaki belakang, disebut faha.Keenam, memotong kaki depan yang disebut taio. Semua babi dikuliti dan dipotong-potong dengan cara yang sama, lalu dibagikan kepada hadirin, kerabat, dan tetangga sesuai kasta masing-masing.

– Simbi adalah haknya Kepala Adat atau orang yang paling dihormati.
– Söri adalah haknya ketua adat, para paman, mertua, dan ketua rumpun keluarga.
– Sinese adalah haknya Ketua Adat, adik atau kakak laki-laki, tokoh agama, dan tokoh pemerintah.
– Bole-bole adalah haknya Ketua Adat, ketua rumpun keluarga, dan salawa.
– Faha adalah haknya keponakan dan anak perempuan.
– Taio diberikan khusus untuk para pemotong.

Menurut adat, pihak FADONO (Saudara wanita dari penganten perempuan) berhak menerima salah satu Ta’io (Kaki depan) yang dipotong dalam upacara itu

FALOWA (Pesta Pernikahan)

Acaranya :

Pada hari pernikahan Paman datang dan disambut dengan memotong babi penghormatanRombongan penganten Pria datang membawa keperluan PestaMenyerahkan sirih tanda penghormatanPenyelesaian böwö untuk Tölamböwö (orang tua kandung) menerima emas dan BulimböwöFamili terdekat menerima  emas dan dibagi rata ke semuaDemikian juga I’o Naya Nuwu (Mahar untuk Paman) juga turut dibayarkanPuncak acara dilaksanakan FANIKA GERA’ERA (MEMBUKA PIKIRAN) yaitu perhitungan kembali semua mahar (Jujuran/böwö atau disebut juga böli gana’a) baik yang sudah maupun yang belum dilunasi, oleh pihak keluarga laki-laki.

Biasanya selalu ada sebagian dari jujuran itu yang belum dilunasi,sering dihiasi dengan pepatah: ”Hönö mböwö no’awai, Hönö mböwö lö sawai” (Artinya Ribuan jujuran sudah dilunasi,ribuan jujuran belum terlunasi) Oleh Ketua adat pihak perempuan, nasehat diberi kepada penganten pria, antara lain diberitahukan tentang hutang adat yang harus dipenuhi, nasehat kewajiban suami kepada isteri, nasehat sebagai menantu kepada mertua, sebagai anggota suku. Dan acara ini kemudian berakhir dengan Fame’e tou nono nihalö berserta barang-barang keperluan mempelai wanita (Ono Nihalö).

Tentunya adat disetiap daerah yang berada di Nias berbeda-beda sesuai dengan tata cara kehidupan masing-masing daerah.

Demikian sebagian kecil keunikan adat atau kebudayaan yang ada di Nias.

Semoga dengan artikel ini membantu dan memperluas wawasan kita tentang kebudayaan ibu Pertiwi.

Jangan lupa comment dan share.

Ya'ahowu 🙏 🙏 🤝